Tuesday, August 23, 2016

Antibiotika bukan "Welcoming drink"


....Tidak semua penyakit membutuhkan Antibiotika....

"If we are not careful, we will soon be in a post-antibiotic-era.. And for some patients and some microbes, we are alreaady there."

" Selamat Pagi, Bu. Hai adik kecil. Mari silakan duduk.". " Ada yang bisa dibantu?"
"Ini dokter, anak saya diare"
"Sejak kapan, Bu?". "Sejak kemarin dokter"
"Berapa kali diarenya, Bu? Bagaimana kondisi diarenya apakah ada lendir maupun darah?"
"3 kali, dok. Tidak ada dok, diarenya ya cair isi air begitu"
............. singkat cerita ...........
Setelah melakukan penggalian anamnesa dan pemeriksaan fisik, 
" Mari silakan duduk kembali". " Kalau boleh tahu sebelumnya apakah sudah sempat diobati di rumah?" " Sudah dokter "
" Oh ya? Ibu obatin apa bu?"
" Saya beri super***** dokter, dan ina***"
"Wah, bagaimana ceritanya ibu bisa mendapatkan obat tersebut?"
"Ya beli di apotek, dokter, tetangga-tetangga banyak yang bilang, kasi ini saja, jadi saya ya sedia banyak di rumah, tiap ada yang sakit saya berikan obat tersebut"

Seketika, saya merasa sedih dan miris. Sebagai tenaga kesehatan, saya merasa tertantang oleh fenomena - fenomena seperti ini. Masalahnya, tidak hanya sesekali saja saya menjumpai pasien tersebut. Padahal, untuk kasus di atas, setelah melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien anak tersebut menderita diare akut dehidrasi ringan yang disebabkan oleh virus, di mana terapi utamanya adalah rehidrasi dan sama sekali bukan merupakan indikasi pemberian antibiotika. Selain itu, pada anak- anak < 12 tahun sangat disarankan untuk tidak menggunakan loperamide sebagai penanganan pada diare anak karena loperamide pada dosis yang tidak sesuai dapat mengganggu motilitas usus sehingga dapat menyebabkan ileus paralitik pada pasien yang sangat fatal akibatnya. 

Tidak semua penyakit butuh antibiotik
Sebagaimana kita ketahui, WHO telah menetapkan Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread sebagai upaya pencegahan resistensi Antibiotika. Tentunya saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya kita terjatuh dalam era post-antibiotika. Antibiotika merupakan obat yang dapat sangat membantu bagi pasien - pasien (saya juga sangat bersyukur banyak orang pintar di belahan bumi ini yang bisa meneliti dan menciptakan berbagai ramuan antibiotika), tetapi bukan berarti semua penyakit membutuhkan antibiotika.

Berikut ini merupakan contoh beberapa kondisi umum terjadi yang TIDAK membutuhkan pemberian antibiotika :
  1. Diare atau gangguan pencernaan yang disebabkan oleh virus / intoleransi makanan, dan bukan disebabkan oleh bakteri. Panas yang terjadi saat diare, bisa disebabkan akibat tubuh dehidrasi sehingga panas tersebut sebagai upaya tubuh untuk mengompensasi dirinya.
  2. Bapilnas (Batuk, Pilek, Panas) dari gejala ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) yang disebabkan oleh virus. Perubahan warna dahak atau riak atau ingus yang berubah dari bening menjadi kuning / kehijauan dan berlendir pekat tidak selalu disebabkan oleh bakteri. Gejala tersebut bisa merupakan perjalanan klinis dari infeksi saluran pernapasan atas, sehingga bukan menjadi indikasi pemberian antibiotika.
Saat Edukasi Pasien (Hanya Dokumentasi - Bukan pasien yang saya contohkan di atas)
Sebagian besar penyebab kasus penyakit rawat jalan pada anak adalah virus, yang pada umumnya merupakan penyakit "self limiting disease". Hal ini berarti penyakit dapat sembuh dengan sendirinya dalam rentang waktu sekitar 5 - 7 hari. Dengan kata lain, seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 - 15% penderita anak.   Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus.  Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik

Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati infeksi saluran napas atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi saluran napas atas termasuk sinus paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri. Satu hal lain yang perlu diketahui bahwa pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri sehingga penggunaan antibiotika sebagai profilaksis masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

"The major reason we are seeing antibiotic resistance is overuse of antibiotics in the population of illnesses that don't require antibiotics - typically colds, sore throats, quote bronchitis unquote - illnesses that would resolve by themselves beacuse they are caused by viruses."
Hari kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Senada dengan WHO Indonesia juga memilih tema yang hampir sama yaitu “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”. Tema ini dipilih karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun secara individu. Hal itu juga sejalan dengan salah satu tujuan kebijakan obat nasional yaitu penggunaan obat secara rasional. Setiap awal April masyarakat Internasional memperingati Hari Kesehatan Sedunia. Penetapan hari itu bersamaan dengan hari lahirnya Badan Kesehatan Sedunia (WHO) yang dibentuk pada tanggal 7 April 1948. Peringatan itu dapat digunakan momentum yang tepat mengajak masyarakat dunia untuk meningkatkan kepedulian dalam ikut meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dunia secara optimal. Tema penggunaan obat rasional itu dIpakai karena permasalahan penggunaan obat irasional di dunia cukup mengkawatirkan. Lebih dari 50 persen obat-obatan diresepkan, diberikan atau dijual tidak semestinya. Sehingga sebagian besar pasien gagal mengkonsumsi obat secara tepat. Bahkan WHO melaporkan setiap tahun 150 ribu orang meninggal karena pemakaian obat tidak rasional. Penggunaan obat tidak rasional atau berlebihan akan berdampak buruk pada kesehatan manusia. Lebih dari 50 persen negara di dunia tidak menerapkan kebijakan dasar untuk mempromosikan penggunaan obat secara rasional (POR). Di negara-negara berkembang, kurang dari 40 persen pasien di sektor publik dan 30 persen di sektor swasta diberikan perawatan sesuai panduan klinis. Penggunaan obat yang tidak rasional terjadi di seluruh dunia. Ditandai, penggunaan obat terlalu banyak atau tidak sesuai dosis dan lama konsumsi tidak tepat, peresepan obat tidak sesuai diagnosis serta pengobatan sendiri dengan obat yang seharusnya dengan resep dokter. Penggunaan obat secara rasional (POR) yaitu pasien mendapatkan pengobatan sesuai kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang tepat bagi kebutuhan individualnya untuk waktu yang cukup dan biaya yang terjangkau bagi diri dan komunitasnya. Jadi POR memiliki empat aspek yaitu pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat. Pemberian antibiotika berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan.. Pemberian antibiotika berlebihan atau pemberian irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat. Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut. Di Indonesia Di Indonesia belum ada data resmi tentang penggunaan antibiotika. Sehingga banyak pihak saat ini tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah. Tetapi berdasarkan tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pemakaian antibiotika di Indonesia jauh banyak dan lebih mencemaskan dan secara tidak langsung mencegah tubuh kita agar tidak terinfeksi bakteri jahat. Indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari. Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium karena spesifitas tes Widal tidak terlalu baik. Sebagian besar kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri. Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika secara drastis. Proporsi anak usia 0 – 4 tahun yang mendapatkan antibiotika menuirun dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiotika yang diresepkan menurun, dari 47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup banyak, padfa tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000. Dampak Pemberian Berlebihan Pemberian antibiotika yang berlebihan dan tidak terkendali saat ini membuahkan akibatnya. Beberapa ahli kesehatan di penjuru dunia mulai menemukan sebuah bakteri superbug atau bakteri yang kebal terhadap antibiotika. Berbeda dengan berbagai temuan berbagai virus baru ganas seperti flu burung, SARS atau flu babi yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Bakteri ganas ini bila menjangkiti seseorang, maka orang tersebut akan terancam nyawanya tanpa ada obat atau antibiotika yang melawannya. Bakteri “super” atau superbug yang bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1) ini telah muncul di India, Pakistan, Inggris, Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya. Bakteri ini juga telah menyebar di rumah sakit di Inggris, para ahli kesehatan dunia memperingatkan bakteri “super” ini bisa menjadi masalah besar di seluruh dunia. Para ilmuwan takut bakteri bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1) bisa masuk dengan mudah di dalam bakteri seperti E.coli. Bila sampai terjadi bakteri ini bisa menyebar dengan cepat dan hampir mustahil untuk bisa diobati. Sebab,menurut para ilmuwan NDM-1 bisa mengubah bakteri, menjadi kebal terhadap antibiotik yang paling kuat saat ini yaitu carbapenems. “Ada sejumlah kasus di Inggris, namun sejauh ini sejumlah besar kasus tampaknya terkait dengan perjalanan dan perawatan rumah sakit di India,” kata Dr David Livermore, peneliti Inggris Health Protection Agency kepada BBC. ”Jenis resistensi ini telah menyebar sangat luas di sana.” Di Amerika Serikat kasus NDM-1 juga telah diidentifikasi antara bulan Januari dan Juni lalu, Wall Street Journal menuliskan soal ini. Para ahli di Amerika di CDC memperkirakan bahwa hampir 100.000 orang meninggal akibat bakteri superbug di seluruh rumah sakit setiap tahun. Hampir 1.700.000 pasien di rumah sakit terjangkit infeksi yang tidak ada obatnya ini. Pada tahun 2007, sembilan atlet dari Iona College di New York terkena Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA, infeksi yang masuk dalam keluarga stafilokokus ini ternyata sudah termasuk dalam bakteri superbugs. Penyakit menular seksual kencing nanah atau Gonore adalah penyakit yang potensial juga terkena bakteri super ini. Hal ini terjadi karena mudahnya penularan melalui hubungan seksual dan penggunaan obat yang berlebihan dan tidak terkendali. Saat ini banyak kasus yang mulai ditemukan penyakit itu sudah resisten terhadap antibiotika biasa dan harus menggunakan antibiotik kelas berat. Bila gonore akan berubah menjadi super bakteri maka akan sangat mencemaskan dunia. Bila hal ini terjadi maka nantinya bisa saja penyakit kencing nanah atau gonore ini bisa menjadi penyakit seberbahaya HIV atau AIDS.  New Delhi Metallo-beta-laktamase, atau NDM-1 adalah sebuah enzim yang jika ditemukan dalam bakteri umum seperti E. coli, Salmonella dan K. pneumonia dapat menjadi sangat berbahaya. Bakteri ini adalah yang paling resisten terhadap antibiotik. NDM-1 ini merupakan ancaman, sangat serius bagi umat manusia di dunia. Keadaan ini secara pasti akan mengancam nyawa jutaan umat manusia bila tidak ditemukan antibiotika untuk menangkalnya. Sebuah jalan terakhir dan juga harapan terakhir untuk mengatasinya ada pada antibiotik, carbapenem. Sayangnya hingga saat ini bakteri superbug NDM-1 ini benar-benar resisten terhadap antibiotik secanggih carbapenem. Hal itu membuat ilmuwan jadi kelabakan dan terus mengadakan penelitian guna melawan bakteri ganas tanpa obat ini Kampanye Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter di Amerika Serikat yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Kampanye ini sudah dilakukan di Amerika Serikat sepuluh tahun yang lalu, Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri. Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan pemberian antibiotika ini. Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasional di Indonesia tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras, niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini dapat diatasi. Jangan sampai terjadi, kita baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang sangat serius

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sandiazyudhasmara/saatnya-dunia-sadar-bahaya-antibiotika_5500accf813311c91afa7a90
Hari kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Senada dengan WHO Indonesia juga memilih tema yang hampir sama yaitu “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”. Tema ini dipilih karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun secara individu. Hal itu juga sejalan dengan salah satu tujuan kebijakan obat nasional yaitu penggunaan obat secara rasional. Setiap awal April masyarakat Internasional memperingati Hari Kesehatan Sedunia. Penetapan hari itu bersamaan dengan hari lahirnya Badan Kesehatan Sedunia (WHO) yang dibentuk pada tanggal 7 April 1948. Peringatan itu dapat digunakan momentum yang tepat mengajak masyarakat dunia untuk meningkatkan kepedulian dalam ikut meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dunia secara optimal. Tema penggunaan obat rasional itu dIpakai karena permasalahan penggunaan obat irasional di dunia cukup mengkawatirkan. Lebih dari 50 persen obat-obatan diresepkan, diberikan atau dijual tidak semestinya. Sehingga sebagian besar pasien gagal mengkonsumsi obat secara tepat. Bahkan WHO melaporkan setiap tahun 150 ribu orang meninggal karena pemakaian obat tidak rasional. Penggunaan obat tidak rasional atau berlebihan akan berdampak buruk pada kesehatan manusia. Lebih dari 50 persen negara di dunia tidak menerapkan kebijakan dasar untuk mempromosikan penggunaan obat secara rasional (POR). Di negara-negara berkembang, kurang dari 40 persen pasien di sektor publik dan 30 persen di sektor swasta diberikan perawatan sesuai panduan klinis. Penggunaan obat yang tidak rasional terjadi di seluruh dunia. Ditandai, penggunaan obat terlalu banyak atau tidak sesuai dosis dan lama konsumsi tidak tepat, peresepan obat tidak sesuai diagnosis serta pengobatan sendiri dengan obat yang seharusnya dengan resep dokter. Penggunaan obat secara rasional (POR) yaitu pasien mendapatkan pengobatan sesuai kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang tepat bagi kebutuhan individualnya untuk waktu yang cukup dan biaya yang terjangkau bagi diri dan komunitasnya. Jadi POR memiliki empat aspek yaitu pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat. Pemberian antibiotika berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan.. Pemberian antibiotika berlebihan atau pemberian irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat. Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut. Di Indonesia Di Indonesia belum ada data resmi tentang penggunaan antibiotika. Sehingga banyak pihak saat ini tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah. Tetapi berdasarkan tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pemakaian antibiotika di Indonesia jauh banyak dan lebih mencemaskan dan secara tidak langsung mencegah tubuh kita agar tidak terinfeksi bakteri jahat. Indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari. Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium karena spesifitas tes Widal tidak terlalu baik. Sebagian besar kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri. Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika secara drastis. Proporsi anak usia 0 – 4 tahun yang mendapatkan antibiotika menuirun dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiotika yang diresepkan menurun, dari 47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup banyak, padfa tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000. Dampak Pemberian Berlebihan Pemberian antibiotika yang berlebihan dan tidak terkendali saat ini membuahkan akibatnya. Beberapa ahli kesehatan di penjuru dunia mulai menemukan sebuah bakteri superbug atau bakteri yang kebal terhadap antibiotika. Berbeda dengan berbagai temuan berbagai virus baru ganas seperti flu burung, SARS atau flu babi yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Bakteri ganas ini bila menjangkiti seseorang, maka orang tersebut akan terancam nyawanya tanpa ada obat atau antibiotika yang melawannya. Bakteri “super” atau superbug yang bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1) ini telah muncul di India, Pakistan, Inggris, Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya. Bakteri ini juga telah menyebar di rumah sakit di Inggris, para ahli kesehatan dunia memperingatkan bakteri “super” ini bisa menjadi masalah besar di seluruh dunia. Para ilmuwan takut bakteri bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1) bisa masuk dengan mudah di dalam bakteri seperti E.coli. Bila sampai terjadi bakteri ini bisa menyebar dengan cepat dan hampir mustahil untuk bisa diobati. Sebab,menurut para ilmuwan NDM-1 bisa mengubah bakteri, menjadi kebal terhadap antibiotik yang paling kuat saat ini yaitu carbapenems. “Ada sejumlah kasus di Inggris, namun sejauh ini sejumlah besar kasus tampaknya terkait dengan perjalanan dan perawatan rumah sakit di India,” kata Dr David Livermore, peneliti Inggris Health Protection Agency kepada BBC. ”Jenis resistensi ini telah menyebar sangat luas di sana.” Di Amerika Serikat kasus NDM-1 juga telah diidentifikasi antara bulan Januari dan Juni lalu, Wall Street Journal menuliskan soal ini. Para ahli di Amerika di CDC memperkirakan bahwa hampir 100.000 orang meninggal akibat bakteri superbug di seluruh rumah sakit setiap tahun. Hampir 1.700.000 pasien di rumah sakit terjangkit infeksi yang tidak ada obatnya ini. Pada tahun 2007, sembilan atlet dari Iona College di New York terkena Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA, infeksi yang masuk dalam keluarga stafilokokus ini ternyata sudah termasuk dalam bakteri superbugs. Penyakit menular seksual kencing nanah atau Gonore adalah penyakit yang potensial juga terkena bakteri super ini. Hal ini terjadi karena mudahnya penularan melalui hubungan seksual dan penggunaan obat yang berlebihan dan tidak terkendali. Saat ini banyak kasus yang mulai ditemukan penyakit itu sudah resisten terhadap antibiotika biasa dan harus menggunakan antibiotik kelas berat. Bila gonore akan berubah menjadi super bakteri maka akan sangat mencemaskan dunia. Bila hal ini terjadi maka nantinya bisa saja penyakit kencing nanah atau gonore ini bisa menjadi penyakit seberbahaya HIV atau AIDS.  New Delhi Metallo-beta-laktamase, atau NDM-1 adalah sebuah enzim yang jika ditemukan dalam bakteri umum seperti E. coli, Salmonella dan K. pneumonia dapat menjadi sangat berbahaya. Bakteri ini adalah yang paling resisten terhadap antibiotik. NDM-1 ini merupakan ancaman, sangat serius bagi umat manusia di dunia. Keadaan ini secara pasti akan mengancam nyawa jutaan umat manusia bila tidak ditemukan antibiotika untuk menangkalnya. Sebuah jalan terakhir dan juga harapan terakhir untuk mengatasinya ada pada antibiotik, carbapenem. Sayangnya hingga saat ini bakteri superbug NDM-1 ini benar-benar resisten terhadap antibiotik secanggih carbapenem. Hal itu membuat ilmuwan jadi kelabakan dan terus mengadakan penelitian guna melawan bakteri ganas tanpa obat ini Kampanye Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter di Amerika Serikat yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Kampanye ini sudah dilakukan di Amerika Serikat sepuluh tahun yang lalu, Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri. Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan pemberian antibiotika ini. Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasional di Indonesia tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras, niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini dapat diatasi. Jangan sampai terjadi, kita baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang sangat serius

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sandiazyudhasmara/saatnya-dunia-sadar-bahaya-antibiotika_5500accf813311c91afa7a90

No comments:

Post a Comment